Sabtu, 12 Maret 2011

SUNAN KUDUS, KETEGASAN SEORANG WALI: WALISANGA, ZIARAH PUSTAKA 3

Dalam sajak penyair sufi Melayu terkenal Hamzah Fansuri terdapat kutipan: Hamzah Fansuri di dalam Mekkah/Mencari Tuhan di Bait al-Ka’bah/ Di Barus ke Kudus terlalu payah/ Akhirnya dapat di dalam rumah

Perhatian bahwa penyair besar dan guru tasawuf yang diyakini hidup antara pertengahan abad ke-16 dan awal abad ke-17 itu menyebut Kota Kudus sebagai salah satu alternatif dalam proses mencari Tuhan. Mengingat Hamzah Fansuri sendiri tinggal di Barus, Kota pelabuhan di Sumatera Utara, penyebutan tersebut membuktikan posisi Kudus sebagai kota suci, atau tepatnya pusat keagamaan, yang sudah dikenal. Ternyata, nama Kudus itu sendiri diberikan dengan sadar untuk mengesahkan keberadaannya sebagai pusat keagamaan tersebut, seperti tertulis dalam inskripsi di masjid dengan menaranya yang berarsitektur khas gaya Hindu: “… telah mendirikan mesjid Aqsa ini di negeri Quds …” Adalah lidah Jawa yang memuntir istilah Arab al-Quds yang berarti Baitulmukadis menjadi Kudus.
Nama kota itu sebelumnya memang bukan Kudus, melainkan Tajug. Ketika masih bernama Tajug, tempat itu dalam buku De Graaf dan Pigeaud disebut-sebut “digarap” oleh seorang Tionghoa Muslim bernama The Ling Sing, yang kemudian disebut Mbah Telingsing. Tajug itu sendiri berarti “rumah-rumahan (di atas makam) dengan atap meruncing”, gaya bangunan ini sejak lama rupa-rupanya sudah digunakan untuk tujuan-tujuan keramat. Jadi, Kudus yang berasal dari Tajug ini boleh diandaikan tempatnya telah lama dimaknai dengan sifat kekeramatan tertentu.
Adalah Sunan Kudus yang dianggap membuatnya “resmi” sebagai kota suci. Namun Sunan Kudus manakah yang kita bicarakan ini? Penyelidikan dari sejumlah buku menunjukkan setidaknya sampai tiga orang telah terkacaukan sebagai Sunan Kudus. Dalam kisah mengenai Sunan Muria pada Intisari edisi November lalu, disebutkan tentang salah seorang walisanga angkatan ke-3 yang bernama Ja’far Shodiq (atau Jafar Sidik) dan akan disebut Sunan Kudus. Nah, ini bisa disebut sebagai “Sunan Kudus Palestina” karena seperti dicatat dalam buku Hasanu Simon, disebut berasal dari Palestina dan datang di Jawa pada 1435.
Juga kadang terkacaukan sebagai Sunan Kudus adalah Sunan Ngudung, panglima perang balatentara Demak yang gugur dalam penyerbuan ke Majapahit, yang kemudian digantikan putranya, juga bernama Ja’far Shodiq, yang berhasil membawa Demak meraih kemenangan – inilah Sunan Kudus ketiga, dan yang paling sering dirujuk, sebagai wali paling tegas dalam penegakan syariat dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan.
Namun dalam ketegasannya, setidaknya seperti terkisahkan dalam legenda, Sunan Kudus ini juga disebutkan sangat toleran terhadap tradisi non-Islam yang masih dianut penduduk ketika mula-mula berdakwah, yakni penghormatan agama Hindu terhadap sapi. Demi menjaga perasaan, disebutkan ia menganjurkan kepada yang sudah masuk Islam agar jangan menyembelih sapi untuk keperluan pesta, melainkan kerbau saja. Agaknya ini juga menjelaskan betapa sampai sekarang di Kudus masih akan ditemukan orang menjual soto kerbau dan sate kerbau, yang rupanya juga menjadi ciri kota itu.
Menyangkut angka-angka tahun, masih terjadi kekaburan mengenai siapa yang membangun Menara Kudus terkenal itu. Di atas menara terdapat penanda tahun (candrasengkala) gapuro rusak ewahing jagad yang berarti tahun 1685. Padahal masa pemerintahan Raden Patah yang berkuasa semasa hidup Sunan Kudus adalah 1462 – 1518, dan diduga Sunan Kudus wafat antara 1518 atau 1550. Dengan begitu terdapat jarak satu abad antara kematian Sunan Kudus dan pembangunan menara masjid, dan berarti gugur pula legenda yang menyatakan menara tersebut adalah jarahan yang dipindahkan dari depan Keraton Majapahit.
Tahun pembangunan masjid itu sendiri, seperti tertera, adalah 1549, juga tidak cocok dengan masa hidup Sunan Kudus. Akibatnya timbul dugaan, kata Arab Quds memang datang dari Ja’far Shodiq asal Palestina tadi, bahkan mungkin pula Mbah Telingsing. Tidak ada satu pun yang pasti -kecuali bahwa Menara Kudus sampai hari ini masih berdiri.
Musafir dari Barat, Antonio Hurdt, dalam ekspedisi ke Kediri tahun 1678, seperti dilacak De Graaf dan Pigeaud, menyatakan kekaguman atas “menara raksasa, suatu bangunan yang kukuh tampan dan yang arsitekturnya jelas diilhami oleh candi-candi zaman pra-Islam.” Perhatikan bahwa angka tahun itu tidak selaras dengan candrasengkala yang terdapat di menara.
Mengapa Sunan Kudus pindah dari Demak?
Peneliti Widji Saksono dalam Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisanga (1995) menyebut angka pembangunan masjid tahun 1537, dan ini membawa kepada cerita lain, seperti bisa dibaca dari buku Hasanu Simon: ketika Sultan Demak dijabat oleh Trenggana dan masjid tersebut dibangun, Ja’far Shodiq yang belum bergelar Sunan Kudus tidak lagi menjabat panglima perang. Keadaan ini ditafsirkan akibat perselisihan paham dengan Sultan, yang kemungkinan telah menurunkan jabatannya sebagai penghulu Masjid Demak. Maka berpindahlah Ja’far Shodiq ke Kudus. Disebutkan suatu ketika beliau memimpin rombongan naik haji ke Mekah, sehingga ia juga disebut amirul hajj dan dikenal sebagai ahli fiqih. Masuk akal jika ditafsirkan, Sunan Kudus seperti ingin memindahkan wibawa keagamaan dari Demak ke Kudus. Disebut keagamaan, tapi tak lebih dan tak kurang politik jua adanya. Artinya lebih serius dibandingkan dengan sekadar perkara perbedaan pendapat tentang awal bulan puasa, seperti disebutkan dalam tambo Jawa yang dikutip De Graaf dan Pigeaud.
Riwayat Sunan Kudus memang diwarnai oleh berbagai manuver politik. De Graaf dan Pigeaud menguraikan, mungkin saja Sunan Kudus meninggalkan Demak “karena keinginan untuk hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk memperdalam ilmu ketuhanan dan melakukan karya-karya yang direstui Tuhan, di luar lingkungan keraton (Demak)” – dan keputusan itu diperkirakan beberapa tahun sebelum 1549, tahun keterteraan angka di mihrab masjid besar Kudus.
Namun kedua sejarawan itu juga mengungkap versi lokal (yang dicatat: kurang dapat dipercaya) bahwa Sunan Kudus pindah karena tidak suka dengan kedatangan Sunan Kalijaga dari Cirebon pada 1543. Barangkali memang data-datanya tidak akurat, untuk menghindari istilah tidak ada, tetapi masih bisa ditafsirkan sebagai terdapatnya indikasi rivalitas antara kedua wali tersebut.
Meredupnya wibawa Kudus
Historiografi Jawa menyebutkan bahwa Sunan Prawata semula adalah murid Sunan Kudus yang berpindah menjadi murid Sunan Kalijaga. Pada masa lalunya, Sunan Prawata membunuh Pangeran Seda Lepen, kakak ayahnya, agar Trenggana, ayahnya itu, bisa menjadi raja; Aria Panangsang, anak Seda Lepen, yang menjadi murid Sunan Kudus, diperintahkan gurunya untuk membunuh Sunan Prawata, yang segera dituruti dengan mengirim Rangkud, orang keper-cayaannya. Dalam legenda adegan pembunuhan berlangsung dramatis: menyadari masa lalunya, Sunan Prawata mempersilakan Rangkud membunuhnya, apa lacur keris yang menembus tubuh Prawata menyebabkan kematian permaisuri pula. Maka dengan sisa tenaga Prawata melemparkan keris pusakanya ke arah Rangkud, yang meski hanya terkena gagangnya toh tewas juga. Tiga mayat bergelimpangan di peraduan Sultan Demak.
Rivalitas berlanjut ketika sengketa antara Aria Panangsang dari Jipang dan Jaka Tingkir dari Pajang yang meruncing sebetulnya adalah atas dorongan Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga di belakang masing-masing yang bertikai, ketika Aria Panangsang membangkang terhadap Kesultanan Pajang. Legenda Jawa menyebutkan pertarungan seru antara Aria Panangsang melawan Sutawijaya yang kelak menjadi Panembahan Senopati pendiri Mataram.
Namun De Graaf dan Pigeaud mengutip berbagai macam babad, serat, dan cerita tutur Jawa itu dengan sangat hati-hati, rapi, dan teliti, tanpa bermaksud menyuguhkannya sebagai fakta, melainkan alat bantu guna menafsirkan data-data layak sejarah yang sangat terbatas: “Kiranya dapat diperkirakan bahwa kemenangan Jaka Tingkir, Sultan Pajang, atas Aria Panangsang dari Jipang, murid tersayang Sunan Kudus, pada tahun 1549, sangat merugikan wibawa peme-rintahan Kudus di Jawa Tengah.”
Akhirnya bukan hanya Kudus, tetapi juga wibawa Demak menyurut ketika hanya menjadi bagian Kesultanan Pajang, apalagi setelah Kerajaan Mataram menjadi kokoh. Pusat kekuasaan di Jawa berpindah dari pesisir ke pedalaman, meski Demak dan Kudus tetap dihormati sebagai pusat keagamaan.
Sunan Kudus dan Ki Ageng Pengging
Telah disebutkan reputasi Sunan Kudus sebagai pemegang syariat yang teguh. Suatu sikap yang ditegaskan dengan kekerasan manakala menghadapi masalah keagamaan yang diakibatkan Syekh Siti Jenar. Riwayat yang belakangan ini akan diuraikan kelak untuk menutup serial Walisanga, cukup dikatakan sekarang Sunan Kudus menjadi sponsor utama hukuman mati atas Syekh Siti Jenar yang juga disebut Syekh Lemah Abang.
Kata abang (merah) dari sinilah yang dirujukkan kepada kaum “abangan”, meski konsep manunggaling kawulo-Gusti (menyatunya hamba-Tuhan) belum tentu dikenal mereka yang merasa sebagai pelaku “abangan”. Mengenai oposisi “abangan-mutihan” atau “abangan-santri” perlu diperhatikan pendapat peneliti Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2005): “Penelitian mutakhir – baik di Barat maupun Indonesia – menolak gambaran ini, dan buku ini mendukung penolakan tersebut.” Pemilahan “santri-priyayi-abangan” yang menjadi populer karena penelitian Clifford Geertz dalam buku Agama Jawa (1960) telah (dianggap) gugur.
Ketegasan yang sama juga diperlihatkan Sunan Kudus ketika menghadapi penolakan tunduk Ki Ageng Pengging kepada Demak, yang lebih terorientasikan kepada politik kepercayaan (agama) ketimbang politik kewilayahan. Ceritera tutur Jawa mengenai kerajaan penting, Pengging, di daerah atas Bengawan Solo pada abad ke-15 dan ke-16, seperti ditunjukkan De Graaf dan Pigeaud, dapat dipercaya. Menurut mereka, “Dapat diperkirakan bahwa pada abad ke-15, Pengging di sebelah barat kerajaan dan Blambangan di sebelah timur kerajaan mempunyai kedudukan yang setaraf terhadap kota raja Majapahit di Jawa Timur. “Juga diperkirakan Pengging masih bertahan abad ke-16, karena kota raja Majapahit pun baru tahun 1527 direbut orang Islam.” Menurut Babad Tanah Djawi, dalam catatan De Graaf dan Pigeaud, kerajaan Pengging runtuh oleh tindakan kekerasan “Alim Ulama dari Kudus”, yang juga dengan “kelompok alim”-nya telah memerangi “kekafiran” di Majapahit.
Sampai di sini, kita akan beralih kepada disertasi Nancy K. Florida, yang pernah dikutip dalam laporan tentang Sunan Kalijaga, tentang Ki Ageng Pengging sebagai sosok “ketakdapatditentukan”, yakni berada di luar kategori pilihan antaralternatif-alternatif seperti: luar versus dalam, jiwa versus raga, kuasa duniawi-politis versus kuasa spiritual. Dalam Babad Jaka Tingkir yang ditelitinya, menurut Florida, Ki Ageng Pengging menolak penempatan dirinya pada bagian pinggir. Dialah sosok pinggiran yang melawan keterpinggiran. Ia menolak untuk memilih “yang ini atau yang itu”, jalan yang ditempuhnya bersifat “yang ini dan itu”; jadi meskipun cerita tutur menyebutnya sebagai Kebo Kenanga yang menjadi murid Syekh Siti Jenar, ia tidak melawan kekuasaan secara frontal seperti Syekh Siti Jenar, melainkan dalam posisi “ketakdapatditentukan” dan ini menghancurkan pilihan yang diberikan penguasa kepadanya, yakni tunduk atau memberontak, Ki Ageng Pengging berada di luar keduanya. Katanya:
“Kalau memilih yang dalam salah / Kalau memilih yang luar tersesat / Bimbanglah dalam kepercayaan / Kalaulah memilih yang atas / Bagai memburu gema / Kalaulah memilih depan / Sungguh kesasar tersesat / Kesasar tujuh mazhab / Atas, bawah, kiri, kanan milikku / Tak ada yang kumiliki”.
Menurut Florida, “Penolakan Ki Ageng Pengging untuk memilih ini mengakibatkan dia dijatuhi hukuman sebagai musuh negara, dan karenanya menandatangani surat kematiannya. Dan lawan bicaranya memang secara langsung mengeksekusi hukuman tersebut. Namun, hanya dengan kehendak Pengging sendirilah tusukan Sunan Kudus pada sikunya dapat membawa kematiannya; bahkan dengan kematiannya pun, junjungan dari Pengging ini masih tak dapat di-tentukan keberadaannya.”
Kita ikuti bagaimana peristiwa tersebut berlangsung dalam Babad Jaka Tingkir:
Pangeran Kudus katanya manis: “O, Kakanda Pengging, Paduka / Dapatkah mati di dalam hidup / Saya ingin menyaksikannya” Ki Ageng menyahut lembut: / “Memang, saya bisa / Dengan ataupun tanpa dirimu / Janganlah menggampangkan iman / Jika kau ingin menyaksikan / Burung Yang Elok / Engkau harus tahu Asal dan Tujuan” Keras jawaban Pangeran Kudus: / “Lalu, di manakah hidup dan / matimu?” / Ki Ageng halus ucapannya: “Belahlah sikuku / Dengan sekinmu sendiri” / Dibelahlah ketika itu / Jatuh lalu tewas / Lantas mengucapkan salam / Kanjeng Pangeran Kudus lembut menyahut: “Wa’alaikum salam.”
Sekin adalah pisau untuk mengkhitan, yang tentu saja boleh dimaknai sebagai simbol dengan penafsiran masing-masing. Seperti juga Burung Yang Elok disepakati sebagai kiasan bagi Pencerahan.
Sosok ketak dapat ditentukan Ki Ageng Pengging sebaliknya juga menghadirkan makna ketegasan Sunan Kudus sebagai representasi syariat Islam yang tak bisa ditawar lagi. Mengenai akidah dalam keimanan, bahkan ketegasan Sunan Kudus mengada dalam kekerasan. Tak salah jika dikatakan bahwa sosok Sunan Kudus terhadirkan sebagai wali yang paling tegas.

SUNAN KUDUS (Raden Ja'far Shodiq)

MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja'far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.
Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja'far Shodiq diberi badong --semacam rompi-- oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.
Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq. Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak.
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja'far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya.
Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung.
Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu.
Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq ''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi menjadi panglima perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru.
Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja'far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud.
Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga, sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud.
Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di sana.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja'far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja'far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja'far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak.
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja'far Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian.
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really meant the temple (of solomon), a translation of the Hebrew bethamikdath, but it because applied to the whole town."
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.
Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang - kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing - masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.
Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan mengendarai tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs. Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.
Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat yang baru saja memeluk agama Islam.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com