Kamis, 20 Januari 2011

Khulafaur Rasyidin

Khalifah Ar-Rasyidin atau Khulafa'ur Rasyidin adalah empat khalifah pertama dalam tradisi Islam Sunni, sebagai pengganti Muhammad, yang dipandang sebagai pemimpin yang mendapat petunjuk dan patut dicontoh. Mereka semuanya adalah sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, dan penerusan kepemimpinan mereka bukan berdasarkan keturunan, suatu hal yang kemudian menjadi ciri-ciri kekhalifahan selanjutnya.

Sistem pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap bahwa Nabi Muhammad tidak memberi-kan petunjuk yang jelas mengenai pengganti beliau, yang ditolak oleh kalangan Syi'ah. Menurut Syi'ah, Muhammad sudah jelas menunjuk pengganti beliau adalah Ali bin Abi Thalib sesuai denganHadits Ghadir Khum

Masa Kemajuan Islam (650-1000 M) - Khilafah Rasyidah

Khilafah Rasyidah merupakan para pemimpin ummat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang islami karena berundang-undangkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Ia Shallallahu ‘Alaihi wasallam nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.

Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul Allah) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat untuk menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.

Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, dengan sendirinya batal setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid Radhiallahu ‘anhu adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.

Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu, sebagaimana pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.

Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid Radhiallahu ‘anhu dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid ibn Abi Sufyan dan Syurahbil Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah ibn Zaid Radhiallahu ‘anhu yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid Radhiallahu ‘anhu diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.

Pada saat Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. Ia diganti oleh "tangan kanan" nya, Umar ibn Khatthab al-Faruq Radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar ibn Khatthab Radhiallahu ‘anhu sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar Radhiallahu ‘anhu . Umar Radhiallahu ‘anhu menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).

Di zaman Umar Radhiallahu ‘anhu gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash Radhiallahu ‘anhu dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash Radhiallahu ‘anhu. Iskandariah/Alexandria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.

Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar Radhiallahu ‘anhu segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.

Umar Radhiallahu ‘anhu memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang majusi, budak dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar Radhiallahu ‘anhu tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 'Auf Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in. Setelah Umar Radhiallahu ‘anhu wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu.

Di masa pemerintahan Utsman Radhiallahu ‘anhu (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.

Pemerintahan Usman Radhiallahu ‘anhu berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman Radhiallahu ‘anhu memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu. Ini karena fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman Radhiallahu ‘anhu dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’ itu.

Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman Radhiallahu ‘anhu adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman Radhiallahu ‘anhu hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman Radhiallahu ‘anhu laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman Radhiallahu ‘anhu sendiri. Itu semua akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’.

Padahal Utsman Radhiallahu ‘anhu yang paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.

Setelah Utsman Radhiallahu ‘anhu wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Ali Radhiallahu ‘anhu memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali Radhiallahu ‘anhu menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman Radhiallahu ‘anhu. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman Radhiallahu ‘anhu kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar Radhiallahu ‘anhu.

Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali Radhiallahu ‘anhu tidak mau menghukum para pembunuh Utsman Radhiallahu ‘anhu , dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman Radhiallahu ‘anhu yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali Radhiallahu ‘anhu sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair Radhiallahu ‘anhu ajma’in agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah Radhiallahu ‘anha dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah Radhiallahu ‘anha ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.

Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Radhiallahu ‘anhu juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali Radhiallahu ‘anhu bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali Radhiallahu ‘anhu. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali Radhiallahu ‘anhu, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali Radhiallahu ‘anhu. Munculnya kelompok al-khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali Radhiallahu ‘anhu terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.

Kedudukan sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya al-Hasan bin Ali Radhiallahu ‘anhuma selama beberapa bulan. Namun, karena al-Hasan Radhiallahu ‘anhuma menginginkan perdamaian dan menghindari pertumpahan darah, maka al-Hasan Radhiallahu ‘anhuma menyerahkan jabaran kekhalifahan kepada Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu. Dan akhirnya penyerahan kekuasaan ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan Radhiallahu ‘anhu . Di sisi lain, penyerahan itu juga menyebabkan Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama'ah ('am jama'ah)! Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa'ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.

Ketika itu wilayah kekuasaan Islam sangat luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai pengalaman politik yang memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat antara lain adalah:

1. Islam, disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.

2. Dalam dada para sahabat, tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Semangat dakwah tersebut membentuk satu kesatuan yang padu dalam diri umat Islam.

3. Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu, mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.

4. Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan aliran yang dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan melawan Persia.

5. Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya untuk masuk Islam.

6. Bangsa Sami di Syria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.

7. Mesir, Syria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.

Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali Radhiallahu Ta’ala anhum ajma’in dinamakan periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa' al-Rasyidun, (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui proses musyawarah, yang dalam istilah sekarang disebut demokratis. Setelah periode ini, pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah Rasyidah, tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan; Mereka selalu bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain. Sedangkan para penguasa sesudahnya sering bertindak otoriter. inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun.

Abu Bakar Ash-Shiddiq

Dahulu, nama aslinya adalah Abdus Syams. Tetapi, setelah masuk Islam namanya diganti oleh Rasulullah sehingga menjadi Abu Bakar. Gelar Ash- Shiddiq diberikan padanya karena ia adalah orang yang pertama mengakui peristiwa Isra' Mi'raj. Lalu, ia pun diberi gelar Ash- Shiddiq (Orang yang percaya).

Ia juga adalah orang yang ditunjuk oleh Nabi Muhammmad SAW untuk menemaninya hijrah ke yastrib. Namun saat ditengah perjalanan mereka dikejar oleh utusan para kabilah Quraisy, sehingga mereka mencari tempat untuk sembunyi. Mereka menemukan sebuah goa dan Abu Bakar menyarankan untuk sembunyi disana. Setelah Rasulullah SAW menyetujuinya, ia melarang Nabi masuk kedalam. Ia memasukinya terlebih dahulu dan mencari kalau ada lubang tempat tinggal hewan liar. Saat ia temukan ia menutupnya dengan selembar kain kecuali satu lubang karena kainnya telah habis.

Setelah itu mereka beristirahat disana, hingga Rasulullah SAW terlelap. Ia melihat ada ular keluar dari lubang ( yang tidak ditutupinya ) lalu ia menutupinya dengan kakinya, sehingga ular itu menggigit kakinya ia menagis namun ia tidak mengatakannya kepada Nabi SAW karena takut membangunkannya. Tetapi ia tidak menyadari bahwa air matanya menetes ke pipi Nabi Muhammad SAW, sehingga beliau terbangun.

Beliau melihat Abu Bakar sedang menagis lalu berkata,"Katakanlah wahai Abu Bakar Mengapa kamu menagis?" Mendengar hal itu ia terkejut karena tidak tahu bahwa Nabi SAW telah terjaga dari tidurnya. Maka ia pun menjawab,"Sesungguhnya aku melihat lubang sarang hewan melata disana dan ia (hewan itu) hendak keluar maka aku tutupi lubang itu dengan kakiku supaya tidak mengganggumu wahai rasul allah." Mendengar hal itu Nabi SAW menangis lalu berkata, "Berikan kakimu" Lalu beliau meludahinya dan seketika luka Abu Bakar sembuh. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan menuju yastrib yang lalu namanya diubah menjadi Madinah.

Ketika Rasulullah SAW sakit keras, beliau tidak dapat mengimami salat jamaah. Maka ditunjuklah Abu Bakar untuk menggantikannya. Bagi sebagian warga Madinah, ini adalah indikasi bahwa suksesi kepemimpinan Rasulullah SAW diteruskan kepada Abu Bakar. Ketika Rasulullah wafat, sebagian kalangan muslim Anshar dan beberapa orang dari pihak Muhajirin mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa'idah. Sempat terjadi perselisihan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dan akhirnya, terpilihlah Abu Bakar as-Siddiq sebagai Khalifah pertama.

Umar bin Khattab

Ketika Abu Bakar merasakan sakitnya semakin berat, ia mengumpulkan para sahabat besar dan menunjuk Umar bin Khattab sebagai Khalifah. Para sahabat setuju dan Abu Bakar meninggalkan surat wasiat yang menunjuk Umar sebagai penggantinya.

Usman bin Affan

Umar bin Khattab tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi persia, Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana dilakukan Rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk meninggalkan wasiat seperti dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam orang Sahabat sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih Khalifah baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

Setelah melalui perdebatan yang cukup lama, muncul dua nama yang bersaing ketat yakni Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Keputusan terakhir diserahkan kepada Abdurrahman bin Auf sebagai ketua Dewan yang kemudian menunjuk Utsman bin Affan sebagai Khalifah

Ali bin Abi Thalib

Para pemberontak terus mengepung rumah Utsman. Ali memerintahkan ketiga puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali al-Hanafiyah mengawal Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki rumah. Namun kekuatan yang sangat besar dari pemberontak akhirnya berhasil menerobos masuk dan membunuh Khalifah Utsman.

Umat yang tidak punya pemimpin dengan wafatnya Utsman, membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah baru

Sebagian kalangan ulama menganggap bahwa Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang memperoleh petunjuk tidak terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat mencakup pula para khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah Nabi. Salah seorang yang oleh kesepakatan banyak ulama dapat diberi gelar khulafaurrasyidin adalah Umar bin Abdul-Aziz, khalifah Bani Umayyah ke-8.

Kompetensi Pendidik dalam Pembelajaran Sejarah

Menorehkan paradigma kita saat ini mengenai pelajaran Sejarah semakin lama semakin termajinalisasikan, hal ini terlihat dengan edukasi palpasi terperanggah atas humanisasi yang dilaksanakan oleh sekolah yang kerap kali kurang memperhatikan pelajaran sejarahnya, aksentuasi realitas di lapangannya kita dapat melihat masih banyak guru yang mengajar pelajaran sejarah bukan berasal dari jurusan kependidikan sejarah, ditunjang lagi, dari hal seperti pengurangan jam mata pelajaran sejarah hal ini dapat tercerminkan marjinalisasi dari pelajaran Sejarah.

Profesionalisme Guru

Dalam permasalahan pengajar yang tidak sesuai dengan latar belakang kependidikanya kini telah diatur dalam Undang-undang guru dan dosen Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 memberikan pengertian tentang Guru adalah sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi, peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Selanjutnya dalam Undang-undang tersebut memuat hal-hal sebagai berikut yang berkaitan dengan Kompetensi Guru, diantaranya : Kedudukan, Fungsi dan Tujuan, Prinsip Profesionalitas, Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi. Pentingnya sertifikat dalam profesionalitas guru di tekankan dalam pasal 11 (1) UUGD (undang-undang guru dan dosen) menyebutkan bahwa sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan, Jadi sertifikat diberikan setelah yang bersangkutan diyakini memenuhi syarat kualifikasi pendidikan dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. diperlukan suatu mekanisme penilaian untuk membuktikan bahwa seseorang telah memenuhi syarat tersebut.

Mekanisme itulah yang disebut sertifikasi, yang seharusnya merupakan bentuk evaluasi komprehensif. Jika kualifikasi sudah dapat dibuktikan dengan ijasah/sertifikat, maka penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran itulah yang dikembangkan dalam sertifikasi.dalam hal ini guru mata pelajaran khususnya sejarah dapat menjalankan pofesinya dengan kompeten.

Kompetensi guru dijelaskan dalam pasal 8, dijabarkan pada pasal 10 dengan istilah kompetensi sebagai agen pembelajaran yang mencakup kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial, kepribadian, pedagogik, profesional dan sosial. Kompetensi kepribadian mencakup kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta dapat menjadi teladan bagi peserta didik.

Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran, tentu saja pembelajaran yang mendidik. Kompetensi profesional adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial adalah kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,orangtua/wali dan masyarakat sekitar.

kompetensi kepribadian diarahkan sebagai modal dasar guru, khususnya dalam berperilaku keseharian. Subkompetensi dengan menjadi teladan bagi peserta didik yang merupakan puncak dari sub-subkompetensi sebelumnya, karena seseorang akan menjadi teladan bagi anak didik, jika memiliki kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa. Bahkan penguasaan materi ajar akan merupakan prasyarat untuk menjadi guru yang berwibawa.

Dari uraian di atas dapat diterlihat jelas bahwa syarat menjadi guru menurut UUGD ada dua, yaitu latar belakang pendidikan S1/D4 dengan mata pelajaran yang diajarkan dan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sedangkan sertifikat pendidik pada dasarnya merupakan pengakuan terhadap kepemilikan dua syarat tersebut.

Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 mengamanatkan bahwa dalam rangka peningkatan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan dalam hal ini guru diwajibkan untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan dari pendidikan nasional kita.

Persyaratan yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut meliputi persyaratan kualifikasi akademik guru dan persyaratan kemampuan seorang guru atau kompetensi yang dibuktikan dengan bentuk penguasaan pedagogik, profesi, kepribadian dan sosial. Dalam proses belajar dan pembelajaran guru merupakan salah satu faktor utama yang mengkondisikan terciptanya suasana yang kondusif.

Proses transformasi ilmu dan pengetahuan akan berjalan sesuai fungsinya apabila guru menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional. Guru dituntut untuk memiliki kompetensi dan dedikasi dalam menjalankan profesinya. Guru sebagai sebuah profesi pada masa sekarang ini terjadi penguatan dalam kedudukan sosial dan eksternal, bahkan terjadi penguatan kedudukan dalam hal proteksi jabatan dan diperkuat oleh Undang-Undang dan status hukum.

Oleh karena itu secara logis muncul pula harapan dan keinginan agar terjadi penguatan serupa dalam posisi internal profesi guru, dimana peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru bisa menjamin mutu pendidikan.

Seorang guru profesional paling tidak harus menguasai kompetensi akademik, yang mencakup: filosofi dan tujuan pendidikan yang menjadi kompas setiap aktivitas pendidikan, mengenal secara mendalam karateristik peserta didik yang dilayani, menguasai bidang ilmu yang menjadi sumber bahan ajar, serta kemampuan menguasai berbagai model serta pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan dalam memfasilitasi peserta didik yang sedang belajar.

Penguasaan ke empat kemampuan tersebut akan menjadi modal pokok bagi guru profesional untuk menguasai kemampuan derivasinya, yaitu: merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran yang sesuai dengan filosofi pendidikan karateristik materi ajar yang dikaji, substansinya dalam hal ini mata pelajaran sejarah.

Perlu dicatat bahwa secara filosofis pendidikan bukanlah transfer pengetahuan, tetapi pengembangan potensi peserta didik.Dengan demikian bidang ilmu pada dasarnya merupakan wahana untuk pengembangan potensi tersebut.

Oleh karena itu materi ajar seharusnya difahami sebagai ”alat” dan bukan ”tujuan” pembelajaran. Sebagai seorang profesional, guru dituntut untuk mengembangkan diri secara berkelanjutan.Dengan demikian, guru juga harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya, seorang guru sejarah melaksanakan tugasnya dengan profesional, yakni berlandaskan konsep/teori yang cukup kokoh. Serta pencerminan sikap agar siswa dapat bertindak bijak dalam kehidupan keseharianya.

Pembelajaran Sejarah

Jika paradigma bahwa sosok kompetensi guru merupakan suatu keutuhan yang sangat penting dalam pembelajaran sejarah, maka seyogyanya generasi calon guru masa kini harus mampu memahami dan belajar dari pengalaman sejarah. Dengan memahami pentingnya belajar dari pengalaman sejarah, diharapkan pijakan untuk mempelajari masa lalu guna membangun masa kini dan masa depan menjadi terarah. Pijakan dalam membangun masa depan melalui masa lalu bukan saja untuk kepentingan masa lalu itu sendiri, tetapi untuk kepentingan masa kini dan masa depan.

Berdasarkan pemahaman tersebut, pendidikan sejarah sangat penting diberikan kepada generasi muda dalam rangka membangun pemahaman siswa yang berspektif waktu dan memori bersama ( KTSP 2006 ). Melalui pendidikan sejarah diharapkan siswa dapat mempertajam wawasan kebangsaan baik ke luar maupun ke dalam kesatuan sosial mereka. Hal ini penting dalam rangka memperkuat dorongan kebersamaan untuk mencapai cita-cita bangsa setelah belajar dari pengalaman masa lalu (Ayatrohaedi, 1985).

Pada dasarnya Pendidikan sejarah tidak hanya membentuk intelektual dan ketrampilan seseorang, tetapi segala bentuk proses penanaman nilai-nilai maupun pengubahan prilaku agar sesuai dengan tujuan pendidikan yang bersangkutan.

Serta banyak unsur lain yang terkait dengan pembinaan kepribadian manusia, Seperti halnya pembelajaran sejarah sangat diperlukan pembinaan kepribadian, sebab dengan mempelajari sejarah siswa akan lebih bijaksana. Apabila siswa mengerti perkembangan masa lampau suatu masalah mutahir, akan dapat lebih mengerti implikasi-implikasi masa kininya, suatu pencarian untuk menemukan pelajaran-pelajaran sejarah yang akan membantu manusia jaman sekarang untuk memecahkan masalah-masalahnya yang sekarang. Untuk mengerti sejarah siswa harus belajar dan memiliki kesadaran sejarah, tanpa aspek itu akan susah untuk memahaminya, karena sejarah merupakan mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan masyarakat indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini.

Agar tujuan ini dapat tercapai maka perlu ditanamkan kesadaran sejarah sejak dini kepada siswa. Oleh karena itu kesadaran sebagai satu bangsa perlu dibina terhadap generasi muda agar jiwa patriotisme dan nasionalisme mereka dapat tumbuh sebagai modal pembangunan dalam mengisi kemerdekaan. Kurikulum Tingkat satuan pendidikan sejarah diberikan kepada siswa bertujuan untuk memperoleh kemampuan berpikir historis dan kesadaran sejarah.

Melalui pendidikan sejarah di sekolah, diharapkan siswa mampu memahami dan menjelaskan proses perkembangan dan perubahan masyarakat dalam rangka menumbuhkan jati diri bangsa Indonesia.

Terdapat ungkapan hari ini tidak akan ada tanpa hari kemarin, dan esok tidak akan hadir tanpa melalui hari ini. Begitulah sejarah tak pernah usai dan tak berujung sepanjang hidup manusia. Sejarah tanpa manusia adalah nista dan manusia tanpa sejarah adalah kemustahilan.

Karena itulah sejarah selalu membahas kehidupan manusia di manapun ia berada, terdapat represif dari Hegel sejarah bukanlah hanya sederetan peristiwa tetapi juga suatu proses yang dapat dimengerti serta dikuasai oleh hukum-hukum objektif yang hanya terpahami dengan memandang sejarah sebagi sesuatu keseluruhan ,ia bukanlah sebuah kisah kemajuan yang unifrom satu arah, tetapi suatu proses yang dialektis, yakni peristiwa tersebut terbangun dari tesis, antitesis menjadi sintesis.
Sejarah secara umum adalah gambaran tentang peristiwa-peristiwa masa lampau yang dialami oleh manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu di beri tafsiran dan analisa kritis,sehingga mudah dimengerti serta dipahami.

Pengertian sejarah Secara gamblang dikemukanan oleh Buer sebagaimana dikutip oleh Hugiono :

“Sejarah ialah ilmu yang meneliti gambaran dengan penglihatan yang singkat untuk merumuskan fenomena kehidupan, yang berhubungan dengan perubahan-perubahan yang terjadi karena hubungan manusia dengan masyarakat, memilih fenomena tersebut dengan memperhatikan akibat-akibat pada zamanya serta bentuk kualitasnya dan memusatkan perubahan-perubahan itu sesuai dengan waktunya serta tidak akan terulang lagi ”.

Sejarah mengajarkan untuk dapat selalu bersikap bijaksana di dalam berbagai macam situasi serta kondisi, serta dapat menumbuhkan sikap kritis dalam melihat suatu fenomena baik yang telah terjadi maupun yang akan datang.

Terdapat ungkapan dari Raul Hilpert “die Vergangenheit nicht kennen (wollen), heiβt sich selbst nicht begreifen (wollen)” yang berarti Tidak mau mengenal masa lalu, berarti tidak mau mengenal dirinya. salah satu keunggulan sejarah dalam bidang pendidikan adalah bahwa sejarah tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan manusia. Sejarah mendorong seseorang untuk berkembang menjadi realitis, jadi pada hakikatnya sejarah adalah pelajaran tentang kearifan.

Kejayaan dan pengalaman pahit di masa lalu adalah kawah candradimuka bagi manusia dalam menghadapi tantangan hari ini untuk membangun masa depan. Dengan belajar sejarah kesadaran akan jati diri sebagai bangsa yang besar itu akan tumbuh di dalam jiwa. Belajar Sejarah merupakan upaya dalam memahami diri sebagai bagian dari masa lampau, merupakan tugas para pendidik untuk membangkitkan kesadaran sejarah sejarah kepada para siswa.

Jadi hendaknya guru sejarah selain dapat menerangkan materi pelajaran sejarah juga dapat mentransformasikan tataran nilai-nilai sikap bijaksana terhadap siswa serta tidak meninggalkan kompetisi pedagogik dalam melakukan pengajaran. kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran yang mendidik, namun tentu saja untuk mencapai kemampuan itu seseorang harus memahami karateristik peserta didik, karateristik materi yang diajarkan.

Mata pelajaran sejarah hendaknya dapat difahami sebagai alat, sedangkan tujuannya adalah menghadapi dan memecahkan problem kehidupan. Siswa belajar sejarah agar dapat lebih mudah memahamai fenomena kehidupan serta memecahkan problema yang terjadi.

Politisasi Pendidikan Sejarah

Pendidikan pada hakikatnya adalah proses menemukan identitas seseorang. Proses pendidikan yang benar adalah yang membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, atau penyadaran akan kemampuan seseorang. Meski demikian, pendidikan dapat pula berbentuk sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang. Hal ini akan terjadi bila pendidikan dijadikan alat oleh sistem penguasa yang ada untuk mengungkung kebebasan individu.

Sistem penguasa yang dimaksudkan adalah pemerintah, yang melestarikan kekuasaan melalui lembaga-lembaga pendidikan. Ketika suatu sistem kekuasaan memaksakan kehendaknya dan merampas kemerdekaan individu berserta kebudayaan, maka pendidikan telah berubah menjadi alat oppressive bagi perkembangan siswa.

Seharusnya proses pendidikan adalah proses yang berjalan dalam suasana kedamaian dalam kehidupan manusia tanpa kekerasan. seperti yang dimaksudkan oleh Paulo freire, proses pendidikan secara hirarki diharapkan untuk mencapai koentisasi humanisasi, yakni pembebasan dalam memanusiakan manusia, atau pendidikan seutuhnya. Pendidikan dimaksudkan dalam hal ini dapat berfikir bebas tanpa ada tekanan , yang pada akhirnya menghasilkan pengetahuan ,tidak hanya mengikuti arus . seperti yang sedang dialami indonesia saat ini.

Kini pendidikan telah mulai di politisasi demi kekuasaan pemimpin semata terutama dalam pelajaran sejarah yang mengelamkan beberapa fakta sejarah yang belum pasti kebenaranya, yakni dengan belum ditetapkan fakta yang pasti dari peristiwa tersebut tetapi telah dituliskan kedalam buku pelajaran sejarah.

Menurut Antonio Gramsci Kekuasaan yang tidak terbatas bukan hanya dimiliki oleh pemerintahan diktator tetapi juga telah memasuki dunia kebudayaan dan pendidikan. Proses pendidikan ternyata seringkali digunakan untuk memperkuat atau melanggengkan struktur kekuasaan dengan mempertahankan ideologi dan hegemoni negara.

Hal ini dapat ditunjang realitasnya dengan salah satunya menghegemoni pelajaran sejarah demi kelanggengan kekuasaan , karena terdapat ungkapan untuk menghancurkan suatu bangsa hanya perlu menghapuskan kesadaran sejarah atas bangsanya sendiri. Dari pencernaan makna tersebut dapat terlihat dari pentingnya menggugah pemaknaan sejarah dalam paradigma berfikir para generasi muda khususnya kepada para calon pendidik agar mampu untuk mempermudah proses transformasi nilai-nilai kebangsaan guna membangun kesadaran sejarah bangsa Indonesia.

Pengembangan Kompetisi Pendidik Dalam Pembelajaran Sejarah

Mengembangkan paradigma pendidikan bermutu dalam pembelajaran sejarah, guru dituntut untuk mampu dan selalu berusaha mengaitkan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari siswa. guru sejarah memfasilitasi serta membimbing siswa untuk belajar memecahkan problema kehidupan dengan memanfaatkan ilmu sejarah sebagai landasan berfikirnya. Dengan demikian kemampuan guru dalam mengaitkan pelajaran sejarah dengan kehidupan sehari-hari menjadi syarat sangat penting dalam pengembangan pembelajaran sejarah.

Pola pembelajaran seperti itulah yang kini disebut dengan pembelajaran kontekstual dan problem based learning. Pola pembelajaran induktif haruslah dikuasai guru, sehingga dapat memulai pelajaran dengan mengajak siswa mendiskusikan fenomena keseharian, kemudian baru dikaitkan dengan konsep materi, topik serta kompetensi yang akan dipelajari.

Pengalaman menunjukkan implementasi pendidikan bermakna (meaningful learning) yang diarahkan pada penguasaan kecakapan hidup dan penggeseran paradigma pembelajaran dari teaching ke learning, Dalam hal ini harus dipahami bahwa dalam pembelajaran yang menjadi titik fokus adalah apa yang dilakukan siswa dan bukan apa yang dilakukan oleh guru yang menjadi titik fokus adalah pengalaman belajar yang diperoleh siswa dan bukan pengalaman mengajar yang diperoleh guru.

Jadi para pendidik khususnya pelajaran sejarah harus dapat meningkatkan potensi dirinya, kemampuan tersebut diwujudkan dalam praktek pembelajaran yang mendidik, guna menghasilkan pendidikan yang bermutu berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Daftar Pustaka

Budiningsih, C.Asri. Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Hamalik, Oemar. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu sejarah. Yogyakarta: Bandung Budaya, 2005.

Standar Kompetensi. Mata Pelajaran Sejarah :Sekolah menengah Atas dan Madrasah Aliah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003.

Poerwantana P.K dan Hugiono Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1999.

Wuryantoro. Edhie, Zainudin dan Edi Sedyawati. Sejarah Pendidikan Di Indonesia Sebelum Kedatangan Bangsa-Bangsa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia, 2006.

H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan : Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, ( Jakarta : Vitriyani Pryadarsina, 2003 )

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, ( Jakarata, LP3ES )

Dirgantara Wicaksono (Alumni Pend Sejarah T.A 2004)

http://sejarahunj.blogspot.com/2010/04/kompetensi-pendidik-dalam-pembelajaran.html

Kompetensi Pendidik dalam Pembelajaran Sejarah

Menorehkan paradigma kita saat ini mengenai pelajaran Sejarah semakin lama semakin termajinalisasikan, hal ini terlihat dengan edukasi palpasi terperanggah atas humanisasi yang dilaksanakan oleh sekolah yang kerap kali kurang memperhatikan pelajaran sejarahnya, aksentuasi realitas di lapangannya kita dapat melihat masih banyak guru yang mengajar pelajaran sejarah bukan berasal dari jurusan kependidikan sejarah, ditunjang lagi, dari hal seperti pengurangan jam mata pelajaran sejarah hal ini dapat tercerminkan marjinalisasi dari pelajaran Sejarah.

Profesionalisme Guru

Dalam permasalahan pengajar yang tidak sesuai dengan latar belakang kependidikanya kini telah diatur dalam Undang-undang guru dan dosen Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 memberikan pengertian tentang Guru adalah sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi, peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Selanjutnya dalam Undang-undang tersebut memuat hal-hal sebagai berikut yang berkaitan dengan Kompetensi Guru, diantaranya : Kedudukan, Fungsi dan Tujuan, Prinsip Profesionalitas, Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi. Pentingnya sertifikat dalam profesionalitas guru di tekankan dalam pasal 11 (1) UUGD (undang-undang guru dan dosen) menyebutkan bahwa sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan, Jadi sertifikat diberikan setelah yang bersangkutan diyakini memenuhi syarat kualifikasi pendidikan dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. diperlukan suatu mekanisme penilaian untuk membuktikan bahwa seseorang telah memenuhi syarat tersebut.

Mekanisme itulah yang disebut sertifikasi, yang seharusnya merupakan bentuk evaluasi komprehensif. Jika kualifikasi sudah dapat dibuktikan dengan ijasah/sertifikat, maka penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran itulah yang dikembangkan dalam sertifikasi.dalam hal ini guru mata pelajaran khususnya sejarah dapat menjalankan pofesinya dengan kompeten.

Kompetensi guru dijelaskan dalam pasal 8, dijabarkan pada pasal 10 dengan istilah kompetensi sebagai agen pembelajaran yang mencakup kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial, kepribadian, pedagogik, profesional dan sosial. Kompetensi kepribadian mencakup kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta dapat menjadi teladan bagi peserta didik.

Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran, tentu saja pembelajaran yang mendidik. Kompetensi profesional adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial adalah kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,orangtua/wali dan masyarakat sekitar.

kompetensi kepribadian diarahkan sebagai modal dasar guru, khususnya dalam berperilaku keseharian. Subkompetensi dengan menjadi teladan bagi peserta didik yang merupakan puncak dari sub-subkompetensi sebelumnya, karena seseorang akan menjadi teladan bagi anak didik, jika memiliki kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa. Bahkan penguasaan materi ajar akan merupakan prasyarat untuk menjadi guru yang berwibawa.

Dari uraian di atas dapat diterlihat jelas bahwa syarat menjadi guru menurut UUGD ada dua, yaitu latar belakang pendidikan S1/D4 dengan mata pelajaran yang diajarkan dan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sedangkan sertifikat pendidik pada dasarnya merupakan pengakuan terhadap kepemilikan dua syarat tersebut.

Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 mengamanatkan bahwa dalam rangka peningkatan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan dalam hal ini guru diwajibkan untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan dari pendidikan nasional kita.

Persyaratan yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut meliputi persyaratan kualifikasi akademik guru dan persyaratan kemampuan seorang guru atau kompetensi yang dibuktikan dengan bentuk penguasaan pedagogik, profesi, kepribadian dan sosial. Dalam proses belajar dan pembelajaran guru merupakan salah satu faktor utama yang mengkondisikan terciptanya suasana yang kondusif.

Proses transformasi ilmu dan pengetahuan akan berjalan sesuai fungsinya apabila guru menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional. Guru dituntut untuk memiliki kompetensi dan dedikasi dalam menjalankan profesinya. Guru sebagai sebuah profesi pada masa sekarang ini terjadi penguatan dalam kedudukan sosial dan eksternal, bahkan terjadi penguatan kedudukan dalam hal proteksi jabatan dan diperkuat oleh Undang-Undang dan status hukum.

Oleh karena itu secara logis muncul pula harapan dan keinginan agar terjadi penguatan serupa dalam posisi internal profesi guru, dimana peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru bisa menjamin mutu pendidikan.

Seorang guru profesional paling tidak harus menguasai kompetensi akademik, yang mencakup: filosofi dan tujuan pendidikan yang menjadi kompas setiap aktivitas pendidikan, mengenal secara mendalam karateristik peserta didik yang dilayani, menguasai bidang ilmu yang menjadi sumber bahan ajar, serta kemampuan menguasai berbagai model serta pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan dalam memfasilitasi peserta didik yang sedang belajar.

Penguasaan ke empat kemampuan tersebut akan menjadi modal pokok bagi guru profesional untuk menguasai kemampuan derivasinya, yaitu: merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran yang sesuai dengan filosofi pendidikan karateristik materi ajar yang dikaji, substansinya dalam hal ini mata pelajaran sejarah.

Perlu dicatat bahwa secara filosofis pendidikan bukanlah transfer pengetahuan, tetapi pengembangan potensi peserta didik.Dengan demikian bidang ilmu pada dasarnya merupakan wahana untuk pengembangan potensi tersebut.

Oleh karena itu materi ajar seharusnya difahami sebagai ”alat” dan bukan ”tujuan” pembelajaran. Sebagai seorang profesional, guru dituntut untuk mengembangkan diri secara berkelanjutan.Dengan demikian, guru juga harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya, seorang guru sejarah melaksanakan tugasnya dengan profesional, yakni berlandaskan konsep/teori yang cukup kokoh. Serta pencerminan sikap agar siswa dapat bertindak bijak dalam kehidupan keseharianya.

Pembelajaran Sejarah

Jika paradigma bahwa sosok kompetensi guru merupakan suatu keutuhan yang sangat penting dalam pembelajaran sejarah, maka seyogyanya generasi calon guru masa kini harus mampu memahami dan belajar dari pengalaman sejarah. Dengan memahami pentingnya belajar dari pengalaman sejarah, diharapkan pijakan untuk mempelajari masa lalu guna membangun masa kini dan masa depan menjadi terarah. Pijakan dalam membangun masa depan melalui masa lalu bukan saja untuk kepentingan masa lalu itu sendiri, tetapi untuk kepentingan masa kini dan masa depan.

Berdasarkan pemahaman tersebut, pendidikan sejarah sangat penting diberikan kepada generasi muda dalam rangka membangun pemahaman siswa yang berspektif waktu dan memori bersama ( KTSP 2006 ). Melalui pendidikan sejarah diharapkan siswa dapat mempertajam wawasan kebangsaan baik ke luar maupun ke dalam kesatuan sosial mereka. Hal ini penting dalam rangka memperkuat dorongan kebersamaan untuk mencapai cita-cita bangsa setelah belajar dari pengalaman masa lalu (Ayatrohaedi, 1985).

Pada dasarnya Pendidikan sejarah tidak hanya membentuk intelektual dan ketrampilan seseorang, tetapi segala bentuk proses penanaman nilai-nilai maupun pengubahan prilaku agar sesuai dengan tujuan pendidikan yang bersangkutan.

Serta banyak unsur lain yang terkait dengan pembinaan kepribadian manusia, Seperti halnya pembelajaran sejarah sangat diperlukan pembinaan kepribadian, sebab dengan mempelajari sejarah siswa akan lebih bijaksana. Apabila siswa mengerti perkembangan masa lampau suatu masalah mutahir, akan dapat lebih mengerti implikasi-implikasi masa kininya, suatu pencarian untuk menemukan pelajaran-pelajaran sejarah yang akan membantu manusia jaman sekarang untuk memecahkan masalah-masalahnya yang sekarang. Untuk mengerti sejarah siswa harus belajar dan memiliki kesadaran sejarah, tanpa aspek itu akan susah untuk memahaminya, karena sejarah merupakan mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan masyarakat indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini.

Agar tujuan ini dapat tercapai maka perlu ditanamkan kesadaran sejarah sejak dini kepada siswa. Oleh karena itu kesadaran sebagai satu bangsa perlu dibina terhadap generasi muda agar jiwa patriotisme dan nasionalisme mereka dapat tumbuh sebagai modal pembangunan dalam mengisi kemerdekaan. Kurikulum Tingkat satuan pendidikan sejarah diberikan kepada siswa bertujuan untuk memperoleh kemampuan berpikir historis dan kesadaran sejarah.

Melalui pendidikan sejarah di sekolah, diharapkan siswa mampu memahami dan menjelaskan proses perkembangan dan perubahan masyarakat dalam rangka menumbuhkan jati diri bangsa Indonesia.

Terdapat ungkapan hari ini tidak akan ada tanpa hari kemarin, dan esok tidak akan hadir tanpa melalui hari ini. Begitulah sejarah tak pernah usai dan tak berujung sepanjang hidup manusia. Sejarah tanpa manusia adalah nista dan manusia tanpa sejarah adalah kemustahilan.

Karena itulah sejarah selalu membahas kehidupan manusia di manapun ia berada, terdapat represif dari Hegel sejarah bukanlah hanya sederetan peristiwa tetapi juga suatu proses yang dapat dimengerti serta dikuasai oleh hukum-hukum objektif yang hanya terpahami dengan memandang sejarah sebagi sesuatu keseluruhan ,ia bukanlah sebuah kisah kemajuan yang unifrom satu arah, tetapi suatu proses yang dialektis, yakni peristiwa tersebut terbangun dari tesis, antitesis menjadi sintesis.
Sejarah secara umum adalah gambaran tentang peristiwa-peristiwa masa lampau yang dialami oleh manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu di beri tafsiran dan analisa kritis,sehingga mudah dimengerti serta dipahami.

Pengertian sejarah Secara gamblang dikemukanan oleh Buer sebagaimana dikutip oleh Hugiono :

“Sejarah ialah ilmu yang meneliti gambaran dengan penglihatan yang singkat untuk merumuskan fenomena kehidupan, yang berhubungan dengan perubahan-perubahan yang terjadi karena hubungan manusia dengan masyarakat, memilih fenomena tersebut dengan memperhatikan akibat-akibat pada zamanya serta bentuk kualitasnya dan memusatkan perubahan-perubahan itu sesuai dengan waktunya serta tidak akan terulang lagi ”.

Sejarah mengajarkan untuk dapat selalu bersikap bijaksana di dalam berbagai macam situasi serta kondisi, serta dapat menumbuhkan sikap kritis dalam melihat suatu fenomena baik yang telah terjadi maupun yang akan datang.

Terdapat ungkapan dari Raul Hilpert “die Vergangenheit nicht kennen (wollen), heiβt sich selbst nicht begreifen (wollen)” yang berarti Tidak mau mengenal masa lalu, berarti tidak mau mengenal dirinya. salah satu keunggulan sejarah dalam bidang pendidikan adalah bahwa sejarah tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan manusia. Sejarah mendorong seseorang untuk berkembang menjadi realitis, jadi pada hakikatnya sejarah adalah pelajaran tentang kearifan.

Kejayaan dan pengalaman pahit di masa lalu adalah kawah candradimuka bagi manusia dalam menghadapi tantangan hari ini untuk membangun masa depan. Dengan belajar sejarah kesadaran akan jati diri sebagai bangsa yang besar itu akan tumbuh di dalam jiwa. Belajar Sejarah merupakan upaya dalam memahami diri sebagai bagian dari masa lampau, merupakan tugas para pendidik untuk membangkitkan kesadaran sejarah sejarah kepada para siswa.

Jadi hendaknya guru sejarah selain dapat menerangkan materi pelajaran sejarah juga dapat mentransformasikan tataran nilai-nilai sikap bijaksana terhadap siswa serta tidak meninggalkan kompetisi pedagogik dalam melakukan pengajaran. kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran yang mendidik, namun tentu saja untuk mencapai kemampuan itu seseorang harus memahami karateristik peserta didik, karateristik materi yang diajarkan.

Mata pelajaran sejarah hendaknya dapat difahami sebagai alat, sedangkan tujuannya adalah menghadapi dan memecahkan problem kehidupan. Siswa belajar sejarah agar dapat lebih mudah memahamai fenomena kehidupan serta memecahkan problema yang terjadi.

Politisasi Pendidikan Sejarah

Pendidikan pada hakikatnya adalah proses menemukan identitas seseorang. Proses pendidikan yang benar adalah yang membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, atau penyadaran akan kemampuan seseorang. Meski demikian, pendidikan dapat pula berbentuk sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang. Hal ini akan terjadi bila pendidikan dijadikan alat oleh sistem penguasa yang ada untuk mengungkung kebebasan individu.

Sistem penguasa yang dimaksudkan adalah pemerintah, yang melestarikan kekuasaan melalui lembaga-lembaga pendidikan. Ketika suatu sistem kekuasaan memaksakan kehendaknya dan merampas kemerdekaan individu berserta kebudayaan, maka pendidikan telah berubah menjadi alat oppressive bagi perkembangan siswa.

Seharusnya proses pendidikan adalah proses yang berjalan dalam suasana kedamaian dalam kehidupan manusia tanpa kekerasan. seperti yang dimaksudkan oleh Paulo freire, proses pendidikan secara hirarki diharapkan untuk mencapai koentisasi humanisasi, yakni pembebasan dalam memanusiakan manusia, atau pendidikan seutuhnya. Pendidikan dimaksudkan dalam hal ini dapat berfikir bebas tanpa ada tekanan , yang pada akhirnya menghasilkan pengetahuan ,tidak hanya mengikuti arus . seperti yang sedang dialami indonesia saat ini.

Kini pendidikan telah mulai di politisasi demi kekuasaan pemimpin semata terutama dalam pelajaran sejarah yang mengelamkan beberapa fakta sejarah yang belum pasti kebenaranya, yakni dengan belum ditetapkan fakta yang pasti dari peristiwa tersebut tetapi telah dituliskan kedalam buku pelajaran sejarah.

Menurut Antonio Gramsci Kekuasaan yang tidak terbatas bukan hanya dimiliki oleh pemerintahan diktator tetapi juga telah memasuki dunia kebudayaan dan pendidikan. Proses pendidikan ternyata seringkali digunakan untuk memperkuat atau melanggengkan struktur kekuasaan dengan mempertahankan ideologi dan hegemoni negara.

Hal ini dapat ditunjang realitasnya dengan salah satunya menghegemoni pelajaran sejarah demi kelanggengan kekuasaan , karena terdapat ungkapan untuk menghancurkan suatu bangsa hanya perlu menghapuskan kesadaran sejarah atas bangsanya sendiri. Dari pencernaan makna tersebut dapat terlihat dari pentingnya menggugah pemaknaan sejarah dalam paradigma berfikir para generasi muda khususnya kepada para calon pendidik agar mampu untuk mempermudah proses transformasi nilai-nilai kebangsaan guna membangun kesadaran sejarah bangsa Indonesia.

Pengembangan Kompetisi Pendidik Dalam Pembelajaran Sejarah

Mengembangkan paradigma pendidikan bermutu dalam pembelajaran sejarah, guru dituntut untuk mampu dan selalu berusaha mengaitkan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari siswa. guru sejarah memfasilitasi serta membimbing siswa untuk belajar memecahkan problema kehidupan dengan memanfaatkan ilmu sejarah sebagai landasan berfikirnya. Dengan demikian kemampuan guru dalam mengaitkan pelajaran sejarah dengan kehidupan sehari-hari menjadi syarat sangat penting dalam pengembangan pembelajaran sejarah.

Pola pembelajaran seperti itulah yang kini disebut dengan pembelajaran kontekstual dan problem based learning. Pola pembelajaran induktif haruslah dikuasai guru, sehingga dapat memulai pelajaran dengan mengajak siswa mendiskusikan fenomena keseharian, kemudian baru dikaitkan dengan konsep materi, topik serta kompetensi yang akan dipelajari.

Pengalaman menunjukkan implementasi pendidikan bermakna (meaningful learning) yang diarahkan pada penguasaan kecakapan hidup dan penggeseran paradigma pembelajaran dari teaching ke learning, Dalam hal ini harus dipahami bahwa dalam pembelajaran yang menjadi titik fokus adalah apa yang dilakukan siswa dan bukan apa yang dilakukan oleh guru yang menjadi titik fokus adalah pengalaman belajar yang diperoleh siswa dan bukan pengalaman mengajar yang diperoleh guru.

Jadi para pendidik khususnya pelajaran sejarah harus dapat meningkatkan potensi dirinya, kemampuan tersebut diwujudkan dalam praktek pembelajaran yang mendidik, guna menghasilkan pendidikan yang bermutu berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Daftar Pustaka

Budiningsih, C.Asri. Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Hamalik, Oemar. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu sejarah. Yogyakarta: Bandung Budaya, 2005.

Standar Kompetensi. Mata Pelajaran Sejarah :Sekolah menengah Atas dan Madrasah Aliah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003.

Poerwantana P.K dan Hugiono Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1999.

Wuryantoro. Edhie, Zainudin dan Edi Sedyawati. Sejarah Pendidikan Di Indonesia Sebelum Kedatangan Bangsa-Bangsa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia, 2006.

H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan : Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, ( Jakarta : Vitriyani Pryadarsina, 2003 )

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, ( Jakarata, LP3ES )

Dirgantara Wicaksono (Alumni Pend Sejarah T.A 2004)

http://sejarahunj.blogspot.com/2010/04/kompetensi-pendidik-dalam-pembelajaran.html

Sunan Kudus / Raden Ja'far Shodiq

MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja'far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh.

Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.

Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja'far Shodiq diberi badong --semacam rompi-- oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.

Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.

Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq. Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak.

Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja'far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya.

Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung.

Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu.

Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq ''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi menjadi panglima perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.

Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru.

Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja'far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud.

Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga, sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud.

Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di sana.

Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.

Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja'far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja'far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja'far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak.

Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja'far Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian.

Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut.

Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.

Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.

Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.

Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.

Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.

Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really meant the temple (of solomon), a translation of the Hebrew bethamikdath, but it because applied to the whole town."

Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.

Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.

Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.

Legenda Kota Kudus

Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.

Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang - kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.

Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali.

Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing - masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.

Legenda daerah Jember

Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan mengendarai tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs. Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember

Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.

Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat yang baru saja memeluk agama Islam.

SUNAN KUDUS, KETEGASAN SEORANG WALI: WALISANGA, ZIARAH PUSTAKA 3

Dalam sajak penyair sufi Melayu terkenal Hamzah Fansuri terdapat kutipan: Hamzah Fansuri di dalam Mekkah/Mencari Tuhan di Bait al-Ka’bah/ Di Barus ke Kudus terlalu payah/ Akhirnya dapat di dalam rumah

Perhatian bahwa penyair besar dan guru tasawuf yang diyakini hidup antara pertengahan abad ke-16 dan awal abad ke-17 itu menyebut Kota Kudus sebagai salah satu alternatif dalam proses mencari Tuhan. Mengingat Hamzah Fansuri sendiri tinggal di Barus, Kota pelabuhan di Sumatera Utara, penyebutan tersebut membuktikan posisi Kudus sebagai kota suci, atau tepatnya pusat keagamaan, yang sudah dikenal. Ternyata, nama Kudus itu sendiri diberikan dengan sadar untuk mengesahkan keberadaannya sebagai pusat keagamaan tersebut, seperti tertulis dalam inskripsi di masjid dengan menaranya yang berarsitektur khas gaya Hindu: “… telah mendirikan mesjid Aqsa ini di negeri Quds …” Adalah lidah Jawa yang memuntir istilah Arab al-Quds yang berarti Baitulmukadis menjadi Kudus.

Nama kota itu sebelumnya memang bukan Kudus, melainkan Tajug. Ketika masih bernama Tajug, tempat itu dalam buku De Graaf dan Pigeaud disebut-sebut “digarap” oleh seorang Tionghoa Muslim bernama The Ling Sing, yang kemudian disebut Mbah Telingsing. Tajug itu sendiri berarti “rumah-rumahan (di atas makam) dengan atap meruncing”, gaya bangunan ini sejak lama rupa-rupanya sudah digunakan untuk tujuan-tujuan keramat. Jadi, Kudus yang berasal dari Tajug ini boleh diandaikan tempatnya telah lama dimaknai dengan sifat kekeramatan tertentu.

Adalah Sunan Kudus yang dianggap membuatnya “resmi” sebagai kota suci. Namun Sunan Kudus manakah yang kita bicarakan ini? Penyelidikan dari sejumlah buku menunjukkan setidaknya sampai tiga orang telah terkacaukan sebagai Sunan Kudus. Dalam kisah mengenai Sunan Muria pada Intisari edisi November lalu, disebutkan tentang salah seorang walisanga angkatan ke-3 yang bernama Ja’far Shodiq (atau Jafar Sidik) dan akan disebut Sunan Kudus. Nah, ini bisa disebut sebagai “Sunan Kudus Palestina” karena seperti dicatat dalam buku Hasanu Simon, disebut berasal dari Palestina dan datang di Jawa pada 1435.

Juga kadang terkacaukan sebagai Sunan Kudus adalah Sunan Ngudung, panglima perang balatentara Demak yang gugur dalam penyerbuan ke Majapahit, yang kemudian digantikan putranya, juga bernama Ja’far Shodiq, yang berhasil membawa Demak meraih kemenangan – inilah Sunan Kudus ketiga, dan yang paling sering dirujuk, sebagai wali paling tegas dalam penegakan syariat dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan.
Namun dalam ketegasannya, setidaknya seperti terkisahkan dalam legenda, Sunan Kudus ini juga disebutkan sangat toleran terhadap tradisi non-Islam yang masih dianut penduduk ketika mula-mula berdakwah, yakni penghormatan agama Hindu terhadap sapi. Demi menjaga perasaan, disebutkan ia menganjurkan kepada yang sudah masuk Islam agar jangan menyembelih sapi untuk keperluan pesta, melainkan kerbau saja. Agaknya ini juga menjelaskan betapa sampai sekarang di Kudus masih akan ditemukan orang menjual soto kerbau dan sate kerbau, yang rupanya juga menjadi ciri kota itu.
Menyangkut angka-angka tahun, masih terjadi kekaburan mengenai siapa yang membangun Menara Kudus terkenal itu. Di atas menara terdapat penanda tahun (candrasengkala) gapuro rusak ewahing jagad yang berarti tahun 1685. Padahal masa pemerintahan Raden Patah yang berkuasa semasa hidup Sunan Kudus adalah 1462 – 1518, dan diduga Sunan Kudus wafat antara 1518 atau 1550. Dengan begitu terdapat jarak satu abad antara kematian Sunan Kudus dan pembangunan menara masjid, dan berarti gugur pula legenda yang menyatakan menara tersebut adalah jarahan yang dipindahkan dari depan Keraton Majapahit.

Tahun pembangunan masjid itu sendiri, seperti tertera, adalah 1549, juga tidak cocok dengan masa hidup Sunan Kudus. Akibatnya timbul dugaan, kata Arab Quds memang datang dari Ja’far Shodiq asal Palestina tadi, bahkan mungkin pula Mbah Telingsing. Tidak ada satu pun yang pasti -kecuali bahwa Menara Kudus sampai hari ini masih berdiri.

Musafir dari Barat, Antonio Hurdt, dalam ekspedisi ke Kediri tahun 1678, seperti dilacak De Graaf dan Pigeaud, menyatakan kekaguman atas “menara raksasa, suatu bangunan yang kukuh tampan dan yang arsitekturnya jelas diilhami oleh candi-candi zaman pra-Islam.” Perhatikan bahwa angka tahun itu tidak selaras dengan candrasengkala yang terdapat di menara.

Mengapa Sunan Kudus pindah dari Demak?

Peneliti Widji Saksono dalam Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisanga (1995) menyebut angka pembangunan masjid tahun 1537, dan ini membawa kepada cerita lain, seperti bisa dibaca dari buku Hasanu Simon: ketika Sultan Demak dijabat oleh Trenggana dan masjid tersebut dibangun, Ja’far Shodiq yang belum bergelar Sunan Kudus tidak lagi menjabat panglima perang. Keadaan ini ditafsirkan akibat perselisihan paham dengan Sultan, yang kemungkinan telah menurunkan jabatannya sebagai penghulu Masjid Demak. Maka berpindahlah Ja’far Shodiq ke Kudus. Disebutkan suatu ketika beliau memimpin rombongan naik haji ke Mekah, sehingga ia juga disebut amirul hajj dan dikenal sebagai ahli fiqih. Masuk akal jika ditafsirkan, Sunan Kudus seperti ingin memindahkan wibawa keagamaan dari Demak ke Kudus. Disebut keagamaan, tapi tak lebih dan tak kurang politik jua adanya. Artinya lebih serius dibandingkan dengan sekadar perkara perbedaan pendapat tentang awal bulan puasa, seperti disebutkan dalam tambo Jawa yang dikutip De Graaf dan Pigeaud.
Riwayat Sunan Kudus memang diwarnai oleh berbagai manuver politik. De Graaf dan Pigeaud menguraikan, mungkin saja Sunan Kudus meninggalkan Demak “karena keinginan untuk hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk memperdalam ilmu ketuhanan dan melakukan karya-karya yang direstui Tuhan, di luar lingkungan keraton (Demak)” – dan keputusan itu diperkirakan beberapa tahun sebelum 1549, tahun keterteraan angka di mihrab masjid besar Kudus.

Namun kedua sejarawan itu juga mengungkap versi lokal (yang dicatat: kurang dapat dipercaya) bahwa Sunan Kudus pindah karena tidak suka dengan kedatangan Sunan Kalijaga dari Cirebon pada 1543. Barangkali memang data-datanya tidak akurat, untuk menghindari istilah tidak ada, tetapi masih bisa ditafsirkan sebagai terdapatnya indikasi rivalitas antara kedua wali tersebut.

Meredupnya wibawa Kudus

Historiografi Jawa menyebutkan bahwa Sunan Prawata semula adalah murid Sunan Kudus yang berpindah menjadi murid Sunan Kalijaga. Pada masa lalunya, Sunan Prawata membunuh Pangeran Seda Lepen, kakak ayahnya, agar Trenggana, ayahnya itu, bisa menjadi raja; Aria Panangsang, anak Seda Lepen, yang menjadi murid Sunan Kudus, diperintahkan gurunya untuk membunuh Sunan Prawata, yang segera dituruti dengan mengirim Rangkud, orang keper-cayaannya. Dalam legenda adegan pembunuhan berlangsung dramatis: menyadari masa lalunya, Sunan Prawata mempersilakan Rangkud membunuhnya, apa lacur keris yang menembus tubuh Prawata menyebabkan kematian permaisuri pula. Maka dengan sisa tenaga Prawata melemparkan keris pusakanya ke arah Rangkud, yang meski hanya terkena gagangnya toh tewas juga. Tiga mayat bergelimpangan di peraduan Sultan Demak.

Rivalitas berlanjut ketika sengketa antara Aria Panangsang dari Jipang dan Jaka Tingkir dari Pajang yang meruncing sebetulnya adalah atas dorongan Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga di belakang masing-masing yang bertikai, ketika Aria Panangsang membangkang terhadap Kesultanan Pajang. Legenda Jawa menyebutkan pertarungan seru antara Aria Panangsang melawan Sutawijaya yang kelak menjadi Panembahan Senopati pendiri Mataram.

Namun De Graaf dan Pigeaud mengutip berbagai macam babad, serat, dan cerita tutur Jawa itu dengan sangat hati-hati, rapi, dan teliti, tanpa bermaksud menyuguhkannya sebagai fakta, melainkan alat bantu guna menafsirkan data-data layak sejarah yang sangat terbatas: “Kiranya dapat diperkirakan bahwa kemenangan Jaka Tingkir, Sultan Pajang, atas Aria Panangsang dari Jipang, murid tersayang Sunan Kudus, pada tahun 1549, sangat merugikan wibawa peme-rintahan Kudus di Jawa Tengah.”
Akhirnya bukan hanya Kudus, tetapi juga wibawa Demak menyurut ketika hanya menjadi bagian Kesultanan Pajang, apalagi setelah Kerajaan Mataram menjadi kokoh. Pusat kekuasaan di Jawa berpindah dari pesisir ke pedalaman, meski Demak dan Kudus tetap dihormati sebagai pusat keagamaan.

Sunan Kudus dan Ki Ageng Pengging

Telah disebutkan reputasi Sunan Kudus sebagai pemegang syariat yang teguh. Suatu sikap yang ditegaskan dengan kekerasan manakala menghadapi masalah keagamaan yang diakibatkan Syekh Siti Jenar. Riwayat yang belakangan ini akan diuraikan kelak untuk menutup serial Walisanga, cukup dikatakan sekarang Sunan Kudus menjadi sponsor utama hukuman mati atas Syekh Siti Jenar yang juga disebut Syekh Lemah Abang.

Kata abang (merah) dari sinilah yang dirujukkan kepada kaum “abangan”, meski konsep manunggaling kawulo-Gusti (menyatunya hamba-Tuhan) belum tentu dikenal mereka yang merasa sebagai pelaku “abangan”. Mengenai oposisi “abangan-mutihan” atau “abangan-santri” perlu diperhatikan pendapat peneliti Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2005): “Penelitian mutakhir – baik di Barat maupun Indonesia – menolak gambaran ini, dan buku ini mendukung penolakan tersebut.” Pemilahan “santri-priyayi-abangan” yang menjadi populer karena penelitian Clifford Geertz dalam buku Agama Jawa (1960) telah (dianggap) gugur.

Ketegasan yang sama juga diperlihatkan Sunan Kudus ketika menghadapi penolakan tunduk Ki Ageng Pengging kepada Demak, yang lebih terorientasikan kepada politik kepercayaan (agama) ketimbang politik kewilayahan. Ceritera tutur Jawa mengenai kerajaan penting, Pengging, di daerah atas Bengawan Solo pada abad ke-15 dan ke-16, seperti ditunjukkan De Graaf dan Pigeaud, dapat dipercaya. Menurut mereka, “Dapat diperkirakan bahwa pada abad ke-15, Pengging di sebelah barat kerajaan dan Blambangan di sebelah timur kerajaan mempunyai kedudukan yang setaraf terhadap kota raja Majapahit di Jawa Timur. “Juga diperkirakan Pengging masih bertahan abad ke-16, karena kota raja Majapahit pun baru tahun 1527 direbut orang Islam.” Menurut Babad Tanah Djawi, dalam catatan De Graaf dan Pigeaud, kerajaan Pengging runtuh oleh tindakan kekerasan “Alim Ulama dari Kudus”, yang juga dengan “kelompok alim”-nya telah memerangi “kekafiran” di Majapahit.

Sampai di sini, kita akan beralih kepada disertasi Nancy K. Florida, yang pernah dikutip dalam laporan tentang Sunan Kalijaga, tentang Ki Ageng Pengging sebagai sosok “ketakdapatditentukan”, yakni berada di luar kategori pilihan antaralternatif-alternatif seperti: luar versus dalam, jiwa versus raga, kuasa duniawi-politis versus kuasa spiritual. Dalam Babad Jaka Tingkir yang ditelitinya, menurut Florida, Ki Ageng Pengging menolak penempatan dirinya pada bagian pinggir. Dialah sosok pinggiran yang melawan keterpinggiran. Ia menolak untuk memilih “yang ini atau yang itu”, jalan yang ditempuhnya bersifat “yang ini dan itu”; jadi meskipun cerita tutur menyebutnya sebagai Kebo Kenanga yang menjadi murid Syekh Siti Jenar, ia tidak melawan kekuasaan secara frontal seperti Syekh Siti Jenar, melainkan dalam posisi “ketakdapatditentukan” dan ini menghancurkan pilihan yang diberikan penguasa kepadanya, yakni tunduk atau memberontak, Ki Ageng Pengging berada di luar keduanya. Katanya:

“Kalau memilih yang dalam salah / Kalau memilih yang luar tersesat / Bimbanglah dalam kepercayaan / Kalaulah memilih yang atas / Bagai memburu gema / Kalaulah memilih depan / Sungguh kesasar tersesat / Kesasar tujuh mazhab / Atas, bawah, kiri, kanan milikku / Tak ada yang kumiliki”.

Menurut Florida, “Penolakan Ki Ageng Pengging untuk memilih ini mengakibatkan dia dijatuhi hukuman sebagai musuh negara, dan karenanya menandatangani surat kematiannya. Dan lawan bicaranya memang secara langsung mengeksekusi hukuman tersebut. Namun, hanya dengan kehendak Pengging sendirilah tusukan Sunan Kudus pada sikunya dapat membawa kematiannya; bahkan dengan kematiannya pun, junjungan dari Pengging ini masih tak dapat di-tentukan keberadaannya.”

Kita ikuti bagaimana peristiwa tersebut berlangsung dalam Babad Jaka Tingkir:

Pangeran Kudus katanya manis: “O, Kakanda Pengging, Paduka / Dapatkah mati di dalam hidup / Saya ingin menyaksikannya” Ki Ageng menyahut lembut: / “Memang, saya bisa / Dengan ataupun tanpa dirimu / Janganlah menggampangkan iman / Jika kau ingin menyaksikan / Burung Yang Elok / Engkau harus tahu Asal dan Tujuan” Keras jawaban Pangeran Kudus: / “Lalu, di manakah hidup dan / matimu?” / Ki Ageng halus ucapannya: “Belahlah sikuku / Dengan sekinmu sendiri” / Dibelahlah ketika itu / Jatuh lalu tewas / Lantas mengucapkan salam / Kanjeng Pangeran Kudus lembut menyahut: “Wa’alaikum salam.”

Sekin adalah pisau untuk mengkhitan, yang tentu saja boleh dimaknai sebagai simbol dengan penafsiran masing-masing. Seperti juga Burung Yang Elok disepakati sebagai kiasan bagi Pencerahan.

Sosok ketak dapat ditentukan Ki Ageng Pengging sebaliknya juga menghadirkan makna ketegasan Sunan Kudus sebagai representasi syariat Islam yang tak bisa ditawar lagi. Mengenai akidah dalam keimanan, bahkan ketegasan Sunan Kudus mengada dalam kekerasan. Tak salah jika dikatakan bahwa sosok Sunan Kudus terhadirkan sebagai wali yang paling tegas.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com