Khalifah Ar-Rasyidin atau Khulafa'ur Rasyidin adalah empat khalifah pertama dalam tradisi Islam Sunni, sebagai pengganti Muhammad, yang dipandang sebagai pemimpin yang mendapat petunjuk dan patut dicontoh. Mereka semuanya adalah sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, dan penerusan kepemimpinan mereka bukan berdasarkan keturunan, suatu hal yang kemudian menjadi ciri-ciri kekhalifahan selanjutnya.
Sistem pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap bahwa Nabi Muhammad tidak memberi-kan petunjuk yang jelas mengenai pengganti beliau, yang ditolak oleh kalangan Syi'ah. Menurut Syi'ah, Muhammad sudah jelas menunjuk pengganti beliau adalah Ali bin Abi Thalib sesuai denganHadits Ghadir Khum
Masa Kemajuan Islam (650-1000 M) - Khilafah Rasyidah
Khilafah Rasyidah merupakan para pemimpin ummat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang islami karena berundang-undangkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Ia Shallallahu ‘Alaihi wasallam nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul Allah) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat untuk menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, dengan sendirinya batal setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid Radhiallahu ‘anhu adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu, sebagaimana pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid Radhiallahu ‘anhu dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid ibn Abi Sufyan dan Syurahbil Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah ibn Zaid Radhiallahu ‘anhu yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid Radhiallahu ‘anhu diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
Pada saat Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. Ia diganti oleh "tangan kanan" nya, Umar ibn Khatthab al-Faruq Radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar ibn Khatthab Radhiallahu ‘anhu sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar Radhiallahu ‘anhu . Umar Radhiallahu ‘anhu menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar Radhiallahu ‘anhu gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash Radhiallahu ‘anhu dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash Radhiallahu ‘anhu. Iskandariah/Alexandria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar Radhiallahu ‘anhu segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
Umar Radhiallahu ‘anhu memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang majusi, budak dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar Radhiallahu ‘anhu tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 'Auf Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in. Setelah Umar Radhiallahu ‘anhu wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu.
Di masa pemerintahan Utsman Radhiallahu ‘anhu (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Usman Radhiallahu ‘anhu berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman Radhiallahu ‘anhu memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu. Ini karena fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman Radhiallahu ‘anhu dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’ itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman Radhiallahu ‘anhu adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman Radhiallahu ‘anhu hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman Radhiallahu ‘anhu laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman Radhiallahu ‘anhu sendiri. Itu semua akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’.
Padahal Utsman Radhiallahu ‘anhu yang paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Setelah Utsman Radhiallahu ‘anhu wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Ali Radhiallahu ‘anhu memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali Radhiallahu ‘anhu menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman Radhiallahu ‘anhu. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman Radhiallahu ‘anhu kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar Radhiallahu ‘anhu.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali Radhiallahu ‘anhu tidak mau menghukum para pembunuh Utsman Radhiallahu ‘anhu , dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman Radhiallahu ‘anhu yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali Radhiallahu ‘anhu sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair Radhiallahu ‘anhu ajma’in agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah Radhiallahu ‘anha dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah Radhiallahu ‘anha ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Radhiallahu ‘anhu juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali Radhiallahu ‘anhu bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali Radhiallahu ‘anhu. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali Radhiallahu ‘anhu, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali Radhiallahu ‘anhu. Munculnya kelompok al-khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali Radhiallahu ‘anhu terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Kedudukan sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya al-Hasan bin Ali Radhiallahu ‘anhuma selama beberapa bulan. Namun, karena al-Hasan Radhiallahu ‘anhuma menginginkan perdamaian dan menghindari pertumpahan darah, maka al-Hasan Radhiallahu ‘anhuma menyerahkan jabaran kekhalifahan kepada Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu. Dan akhirnya penyerahan kekuasaan ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan Radhiallahu ‘anhu . Di sisi lain, penyerahan itu juga menyebabkan Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama'ah ('am jama'ah)! Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa'ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Ketika itu wilayah kekuasaan Islam sangat luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai pengalaman politik yang memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat antara lain adalah:
1. Islam, disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2. Dalam dada para sahabat, tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Semangat dakwah tersebut membentuk satu kesatuan yang padu dalam diri umat Islam.
3. Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu, mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
4. Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan aliran yang dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan melawan Persia.
5. Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya untuk masuk Islam.
6. Bangsa Sami di Syria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
7. Mesir, Syria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali Radhiallahu Ta’ala anhum ajma’in dinamakan periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa' al-Rasyidun, (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui proses musyawarah, yang dalam istilah sekarang disebut demokratis. Setelah periode ini, pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah Rasyidah, tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan; Mereka selalu bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain. Sedangkan para penguasa sesudahnya sering bertindak otoriter. inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun.
Abu Bakar Ash-Shiddiq
Dahulu, nama aslinya adalah Abdus Syams. Tetapi, setelah masuk Islam namanya diganti oleh Rasulullah sehingga menjadi Abu Bakar. Gelar Ash- Shiddiq diberikan padanya karena ia adalah orang yang pertama mengakui peristiwa Isra' Mi'raj. Lalu, ia pun diberi gelar Ash- Shiddiq (Orang yang percaya).
Ia juga adalah orang yang ditunjuk oleh Nabi Muhammmad SAW untuk menemaninya hijrah ke yastrib. Namun saat ditengah perjalanan mereka dikejar oleh utusan para kabilah Quraisy, sehingga mereka mencari tempat untuk sembunyi. Mereka menemukan sebuah goa dan Abu Bakar menyarankan untuk sembunyi disana. Setelah Rasulullah SAW menyetujuinya, ia melarang Nabi masuk kedalam. Ia memasukinya terlebih dahulu dan mencari kalau ada lubang tempat tinggal hewan liar. Saat ia temukan ia menutupnya dengan selembar kain kecuali satu lubang karena kainnya telah habis.
Setelah itu mereka beristirahat disana, hingga Rasulullah SAW terlelap. Ia melihat ada ular keluar dari lubang ( yang tidak ditutupinya ) lalu ia menutupinya dengan kakinya, sehingga ular itu menggigit kakinya ia menagis namun ia tidak mengatakannya kepada Nabi SAW karena takut membangunkannya. Tetapi ia tidak menyadari bahwa air matanya menetes ke pipi Nabi Muhammad SAW, sehingga beliau terbangun.
Beliau melihat Abu Bakar sedang menagis lalu berkata,"Katakanlah wahai Abu Bakar Mengapa kamu menagis?" Mendengar hal itu ia terkejut karena tidak tahu bahwa Nabi SAW telah terjaga dari tidurnya. Maka ia pun menjawab,"Sesungguhnya aku melihat lubang sarang hewan melata disana dan ia (hewan itu) hendak keluar maka aku tutupi lubang itu dengan kakiku supaya tidak mengganggumu wahai rasul allah." Mendengar hal itu Nabi SAW menangis lalu berkata, "Berikan kakimu" Lalu beliau meludahinya dan seketika luka Abu Bakar sembuh. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan menuju yastrib yang lalu namanya diubah menjadi Madinah.
Ketika Rasulullah SAW sakit keras, beliau tidak dapat mengimami salat jamaah. Maka ditunjuklah Abu Bakar untuk menggantikannya. Bagi sebagian warga Madinah, ini adalah indikasi bahwa suksesi kepemimpinan Rasulullah SAW diteruskan kepada Abu Bakar. Ketika Rasulullah wafat, sebagian kalangan muslim Anshar dan beberapa orang dari pihak Muhajirin mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa'idah. Sempat terjadi perselisihan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dan akhirnya, terpilihlah Abu Bakar as-Siddiq sebagai Khalifah pertama.
Umar bin Khattab
Ketika Abu Bakar merasakan sakitnya semakin berat, ia mengumpulkan para sahabat besar dan menunjuk Umar bin Khattab sebagai Khalifah. Para sahabat setuju dan Abu Bakar meninggalkan surat wasiat yang menunjuk Umar sebagai penggantinya.
Usman bin Affan
Umar bin Khattab tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi persia, Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana dilakukan Rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk meninggalkan wasiat seperti dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam orang Sahabat sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih Khalifah baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Setelah melalui perdebatan yang cukup lama, muncul dua nama yang bersaing ketat yakni Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Keputusan terakhir diserahkan kepada Abdurrahman bin Auf sebagai ketua Dewan yang kemudian menunjuk Utsman bin Affan sebagai Khalifah
Ali bin Abi Thalib
Para pemberontak terus mengepung rumah Utsman. Ali memerintahkan ketiga puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali al-Hanafiyah mengawal Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki rumah. Namun kekuatan yang sangat besar dari pemberontak akhirnya berhasil menerobos masuk dan membunuh Khalifah Utsman.
Umat yang tidak punya pemimpin dengan wafatnya Utsman, membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah baru
Sebagian kalangan ulama menganggap bahwa Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang memperoleh petunjuk tidak terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat mencakup pula para khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah Nabi. Salah seorang yang oleh kesepakatan banyak ulama dapat diberi gelar khulafaurrasyidin adalah Umar bin Abdul-Aziz, khalifah Bani Umayyah ke-8.
0 komentar:
Posting Komentar